(DI CARI..)Siapa yang bisa mendamaikan Mega Dan SBY....?

Share on :
inilah..com. Jakarta - Sudah sejak pertengahan 2004 Presiden SBY dan Megawati Soekarnoputri, tidak saling sapa. Sebuah periode permusuhan yang relatif cukup lama dan sebuah contoh konflik pemimpin bangsa yang kontra produktif.

Ketika tersiar kabar bahwa Megawati bersedia hadir di Istana Merdeka pada Rabu 7 Nopember 2012 dalam rangka penganugerahan gelar Pahlawan Nasional bagi Soekarno, ayahnya dan Mohammad Hatta, banyak yang berharap kehadiran Mega dapat mengakhiri permusuhan itu. Syukur-syukur kalau melalui acara itu sebuah babak baru rekonsiliasi nasional bisa dimulai.

Mengapa permusuhan atau perseteruan Mega-SBY dikaitkan dengan rekonsiliasi nasional? Tidak lain karena semenjak kejatuhan Soeharto di 1998, bangsa Indonesia hingga kini masih terpecah. Retaknya hubungan kedua pemimpin nasional itu telah menambah kuantitas persoalan bangsa yang perlu direkonsiliasi.

Permusuhan mereka menjadi model polarisasi bangsa dalam bidang politik. Polarisasi menyebabkan instabilitas dan bahkan kerancuan dalam sistem politik. Lihat saja sistem politik saat ini. Oposisi yang hanya dikenal di negara yang menganut sistem parlementer, kini diadopsi di Indonesia dengan cara semaunya. Oposisi yang seharusnya digunakan untuk penyeimbang, digunakan sebagai cara melawan arus dan kekuasaan.

Koalisi antar partai yang dimaksudkan untuk memperkuat kinerja, ketika diterjemahkan di pemerintahan SBY dalam bentuk apa yang disebut Sekretariat Gabungan (Setgab). Sistem ini hanya melahirkan ketidak pastian. Koalisi menjadi tidak efektif untuk cara bersinerji.

Adanya Setgab atau koalisi memperjelas adanya oposisi. Tetapi yang lebih pasti dengan sistem ini, SBY telah menempatkan PDI-P pimpinan Megawati, sebagai sebuah partai oposisi. Tadinya, eksistensi partai oposisi tidak dikenal dalam kehidupan berpolitik nasional. Sebab konstitusi memang tidak mengadopsinya.

Tadinya keberadaan PDI-P di luar pemerintahan, juga tidak disebut sebagai partai oposisi. Sebab masih ada Partai Gerindera dan Partai Hanura yang tidak masuk pemerintahan tapi juga tidak beroposisi.

Sebaliknya PDI-P tanpa deklarasi sebagai partai oposisi, sudah diindentikan sebagai partai yang beroposisi terhadap pemerintahan SBY. Sementara kepada Hanura dan Gerindra tidak ada identifikasi demikian. Rancu jadinya.

Bagi siapa saja yang berpikir positif, pertemuan Mega-SBY pada 7 November itu sangat diharapkan bisa mengakhiri keadaan yang antagonistis. Pertemuan Mega selaku Presiden kelima dan SBY sebagai Presiden keenam, ditunggu menjadi momen yang dapat menghidupkan kembali dialog yang macet antar dua kekuatan politik besar.

Namun sebagaimana kita ketahui bersama, nyatanya harapan itu tidak terjadi. Yang tergambar justru semakin mempertegas sikap mereka yang tidak peduli dengan citra negatif akibat permusuhan mereka.

Sebetulnya, dengan perseteruan Mega-SBY yang sudah berjalan hampir satu dekade, permusuhan itu sudah bisa dikategorikan sebagai hal yang tidak wajar. Permusuhan yang keluar dari substansi.

Mega dan SBY mungkin beranggapan, perseteruan mereka masih prinsipil. Tetapi bagi yang kritis, perseteruan mereka, kalaupun masih prinsipil, namun sudah dalam pengertian yang sempit. Karena yang mereka berdua pelihara adalah egoisme alias dendam. Kegagalan rekonsiliasi pada 7 Nopemnber 2012 itu, akibat kesalahan dua pihak.

Itu sebabnya Mega dan SBY perlu dikoreksi. Sebagai tamu terhormat dan tetap menyandang predikat Presiden, Mega seharusnya memandang pemberian gelar kehormatan kepada mendiang ayahnya, sebagai sebuah gesture dari Presiden SBY kepada keluarga besar Soekarno. Jadi sepantasnya pula apabila secara resiprokal Mega mengirim sinyal bahwa kehadirannya di Istana juga bertujuan membuka dialog dengan SBY.

Mega sepatutnya tampil sebagai seorang negarawan. Kata orang, seorang negarawan harus bisa berdialog dengan musuh politik. Almarhum Soekarno, ayah biologis punya sikap negarawan.

Bila perlu untuk menghormati acara yang memberi penghomatan kepada Soekarno, selama berada di Istana Presiden, Mega pun melakukan gerakan-gerakan "sandiwara". Yaitu seakan ia sudah tidak punya masalah lagi dengan SBY. Bahwasanya satu detik kemudian setelah keluar dari Istana, lantas Mega kembali ke sikap aslinya, tidak masalah.

Di pihak lain, semestimya dalam acara itu SBY keluar dari aturan protokol. Yaitu dia mendatangi langsung Megawati yang berdiri disamping Wapres Boediono. Buatlah suasana bahwa SBY sudah melupakan masa lalu. Cara itu boleh jadi bertentangan dengan aturan protokol. Tapi tidak akan ada yang menyalahkan SBY kalau terobosan itu akhirnya melahirkan sebuah dialog antara dia dengan Mega.

Termasuk dalam penyerahan penghargaan Pahlawan Nasional. Penghargaan itu seharusnya diterimakan langsung kepada Megawati dan bukan kepada Guntur. Betul Guntur merupakan putera tertua Soekarno. Tetapi kalau SBY mau melakukan inisiatif, mengubah skenario protokol, perubahan itu tidak akan menimbulkan masalah.

Bisa jadi aturan protokol inilah yang kaku, membuat Megawati tidak merasa dihormati. Mega yang bekas presiden, ketika berada di Istana pun diperlakukan seperti rakyat biasa. Sensitivitasnya sebagai anak Proklamator yang pernah menjadi penghuni Istana dan yang lebih dahulu berkantor di Istana dibanding SBY, tidak dimasukan dalam kalkulasi saat menyusun run down acara.

Apa yang menjadi pangkal penyebab retaknya hubungan Mega-SBY tidak perlu lagi diungkap dan diulas di sini. Sebab kalau hal itu dilakukan hanya akan membuat luka lama yang sedang diobati, bisa bertambah parah. Yang diperlukan sekarang, mencari sosok yang bisa mendamaikan mereka berdua.

Sebelum ditemukan sosok yang mampu mendamaikan, kepada Mega dan SBY perlu diingatkan bahwa generasi muda bangsa Indonesia, tidak bangga dengan permusuhan mereka. Generasi muda bangsa Indonesia sudah memiliki paradigma yang berbeda dengan generasi mereka berdua.

Perubahan paradigma ini terjadi karena antara lain pengaruh luar yang dibawa masuk oleh media-media dengan cara cepat. Salah satunya rekonsiliasi antara Barack Obama dan Hillary Clinton.

Lima tahun lalu keduanya terlibat dalam persaingan yang ketat untuk memperebutkan kursi Presiden Amerika Serikat. Tensi permusuhan mereka sangat tinggi. Mereka kemudian terlibat dalam perang kata-kata lewat forum kampanye yang otomatis melahirkan permusuhan.

Adalah Obama, lelaki yang lebih muda usianya dan sudah berhasil mengalahkan Hillary dalam Pemilu Presiden yang datang kepada Hillary. Obama menawarkan jabatan Menteri Luar Negeri kepada Hillary Clinton, sebuah posisi politik yang dalam ranking jabatan di negeri itu berada pada urutan ketiga, setelah Wakil Presiden.

Dengan jabatan Menlu, Hillary Clinton mendapat fasilitas yang hampir sama dengan Presiden Obama. Keduanya punya hak menggunakan pesawat terbang kepresidenan. Bedanya cuma soal urutan. Kalau Obama dengan US Air Force One, Hillary dengan US Air Force Three.

Tawaran Obama diajukan secara terbuka dan terhormat. Sehingga Hillary Clinton pun merasa dihargai atau dimanusiakan. Karena pemahaman positif, sebaliknya Hillary yang pernah menjadi Ibu Negara AS selama 8 tahun, tidak lagi melihat Obama dengan sikap yang merendahkan.

Hubungan yang tidak harmonis antara Mega-SBY, sudah sepatutnya tidak berkelanjutan. Harus ada pihak yang berani tampil sebagai mediator yang mampu memberi solusi sekaligus meyakinkan kedua pemimpin tersebut bahwa permusuhan mereka tak akan memberi makna kepada bangsa.

Mereka wajib berdamai. Nah siapa yang bisa menjadi jurudamai? [mdr]

Sumber : http://nasional.inilah..com/read/det...n-mega-dan-sby

[imagetag]..siapa?

Admin 10 Nov, 2012


-
Source: http://situs-berita-terbaru.blogspot.com/2012/11/di-carisiapa-yang-bisa-mendamaikan-mega.html
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com

0 komentar on (DI CARI..)Siapa yang bisa mendamaikan Mega Dan SBY....? :

Post a Comment and Don't Spam!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...